• Menu
  • Menu

Pusat Perbelanjaan Namba ~ Ternyata Jepang Bisa Kotor Juga

Suatu hari di Bandung, saya bertanya ke orang “A’, kotak sampah dimana ya?” Jawabannya “Eh, buat apa dek?”

Setelah makan di Restoran Xinjiang Muqam, mumpung ada di daerah Namba kami pun keliling. Sebenarnya nggak tahu mau ngapain, tapi ya udah, keliling aja tanpa tujuan. Daerah Namba ini sih kayaknya pusat kota. Banya gedung tinggi dan pertokoan. Jalan dan perempatannya pun besar. Stasiun bawah tanahnya apa lagi. Punya lebih dari 40 pintu masuk! Lorongnya kayak mall. Memang mall sih kayaknya.

Jalan nggak ada tujuan, kami melihat peta untuk mencari tujuan. Namanya di Jepang, nemunya tera alias kuil. Yah, di Jepang katanya kuil lebih banyak dibanding convenient store (alias mini market). Keliling sambil menuju arah itu kuil di Om-gle-map kami menemukan sebuah koridor perbelanjaan yg cukup menarik. Ada spanduk kain besar tergantung di atas lorong dengan bendera negara-negara ASEAN. Nggak tahu ada acara apa atau itu tempat apa. Tentu saja secara alami kami mencari benda Indonesia dan ternyata ada.

Di ujung lorong, pejalan kaki sangat-sangat ramai. Jalan bercabang empat sampai lima. Kalau di Indonesia, di mana ya bisa menemui jalan besar yg bisa dijalankakikan saat belanja seperti ini. Ciwalk? Ha. Di dalam kompleks beraninya. Braga? Dilewati mobil. Disini ramainya kayak pasar malam, well, secara teknis ini memang pasar yang tetap buka saat malam.

Masih ngotot nyari tera tadi, kami memilih cabang yang ke arah sungai. Sampai akhir nggak ketemu sih si tera, lagi keluar sama pacarnya kali. Namun, di sungai kami menemukan sesuatu yang menarik pula. Sungai yang dihias! Jembatannya asyik juga. Lampu-lampu yang indah. Sungai yg tidak bau, gelap namun bersih. Kapan Indonesia bisa memanfaatkan sungainya seperti ini.

Sebenarnya sederhana saja hiasannya. Namun, hasilnya seru kan… Asal kalinya bersih.

Melanjutkan perjalanan, kami memilih jalur yang menjauh dari titik kami bermula datang. Biar seru lah, banyak yg dijelajahi. Eh, kok agak sepi. Gedung tinggi masih banyak sih tapi daerahnya tidak sesak manusia seperti tadi lagi. Besar satuan kandela juga menurun tajam, makin remang-remang. Tampak beberapa ibu-ibu berdiri di pinggir jalan sambil bawa tisu atau brosur atau apa itu. Agak gelap nggak keliatan.

“Mas, sachi?”, kata ibu tadi mendekat.

Setidaknya itu yang saya dengar. Bukan mas juga sih, tapi onichan, kan orang Jepang. Nggak mudeng dan nggak minat, saya cuma mengangkat tangan saja. Makin jalan makin ketemu ibu serupa yg juga berinisiatif sama. Berulang kali saya mendengar sachi. Agak jauh, nanya ke Sidik. Eh, sachi naon? Masak nggak tahu sih? Euphemism itu. Awalnya itu pasti ujungnya yg lain. He? Naon? Bahasa Jepang? Bukan. Ah, kuping maneh! Naon sih?  Masaji.. Massage.

Oh.
Daerah abunai rupanya.

Onichan daijoubu? 

Berkali-kali kami lewat dan banyak yg menghampiri. Begitu ditolak beberapa jawabannya gitu dg nada kayak ibu-ibu mengkhawatirkan anaknya yg jatuh dari sepeda. Kakak nggak papa?

Melupakan koridor gelap yang baru kami lalu, jam 11 datang juga. Capek. Nggak niat belanja juga kami, wong jalan-jalan pengen yg murah. Hari kedua jalan-jalan besok, menurut jadwal, kami harus berangkat pagi jam 7. Ah, kami pun melakukan rolling back action. Berbelok ke arah tempat kami datang. Yang ada stasiun disana sih. Dan koridor makin lama makin banyak orang lagi. Dan muakin banyak lagi.

Disinilah kita sampai kepada judul artikel.  Begitu sampai di Jepang, yang paling saya jelas terlihat dan saya kagumi adalah begitu rapi dan bersihnya kota disini. Jalanan mulus. Sampah tak terlihat, kalaupun ada paling hanya satu dua kertas terbang ketiup angin. Namun, kotak sampah sangat jarang terlihat. Kalau mau buang sampah, repot minta ampun. Di tempat wisata pun, misal di Arashiyama, terdapat plang bertuliskan “sampah harap dibawa pulang” di sebelah tong sampah khusus kaleng. Hm.

Namun saya tidak menyangka. Ternyata Jepang bisa kotor juga. Bukan soal onechan yg menawari kami sachi tadi loh ya. Bukan. Kotor dalam arti harfiah. Setelah tiga bulan disini, baru kali ini, di Namba ini saya nemu. Di atas jembatan yang sangat besar, belakangan kami tahu namanya Nipponbashi Bridge dan Dotonbori Bridge, sampah berserakan. Putung rokok, bungkus teh kotak, plastik, muntahan. Padahal di kedua ujung sana dan satunya, terdapat koridor yang mengandung manusia kayak dendeng.

Di foto nggak begitu kelihatan sih. Tapi trust me, lebih kotor buanget. Dibanding tempat lain di Jepang tentunya. Sama Indonesia atau Si Kota Babi Bandung ya tentu saja kalah lah.

Suatu hari di Bandung, saya di pinggir jalan sedang ingin beli Kopi Aroma. Karena laper, tadi saya makan pisang dan kulitnya masih ada di kantong jaket. Mumpung parkir deket pasar, saya pengen buang itu kulit. Tanya deh ke “tukang parkir” (kemungkinan besar tukang ilegal) setempat. “A’, kotak sampah dimana ya?

Tebak jawaban beliau apa… “Buat apa dek?” Syok saya waktu itu. Sepertinya menurut mereka kotak sampah ada fungsi lain. Untuk mengais makanan sisa mungkin salah satu contohnya, seperti babi.

Saya yakin, bukan cuma Bandung tapi hampir seluruh kota besar di Indonesia pantas dapat julukan Kota Babi. Apalagi penduduknya, selama masih punya mindset seperti babi, ya memang tak pantas dijuluki manusia mereka. Nggak perlu nyebut kota lah. Kampus saya ITB juga gitu mirip dengan Namba ini padahal kotak sampah dimana-mana. Sedikit off topic, anak ITB yang naik motor via trotoar pun banyak… Begundal semua. Ngapain mereka ke ITB ya. Tak pantas digelari mahasiswa mereka itu. Saat Jalan Juanda banjir super parah setinggi betis sehingga motor saya mati kebanjiran, saat darurat seperti itu pun, saya masih malu untuk berkendara di trotoar. Akhirnya, dorong.

Jawaban si tukang parkir selanjutnya setelah saya jelaskan apa perilah saya mencari kotak sampah (jika Anda penasaran yakni untuk membuang sampah), jawaban beliau lebih membuat saya syok. Buang aja disini dek, repot amat. Sambil menunjuk lubang saluran air kecil yg ada di tepi trotoar.

Mari kembali ke Namba. Sepertinya, daerah itu sedikit kotor dibanding daerah lain karena banyak anak muda yg berkeliaran. Suatu pemandangan yang jarak – menurut sidik – di Tokyo. Ini merupakan hal yang menarik. Tingkat individualisme di Kansai ternyata tidak setinggi di daerah Kanto. Hmm…

Efek lainnya adalah banyak orang mabok. Kami melihat beberapa manusia nemplok di lantai yg tidak bisa dibilang bersih untuk tidur alih-alih nyaman. Di sampingnya, temannya menelpon seseorang dengan nada panik. Hmm…

Kami juga baru sadar setelah penasaran, ini daerah kok kotor, dan menanyakan ke Om-Gle. Ternyata ini daerah namanya Nipponbashi. Daerah ini, bersama dengan daerah Namba adalah pusat perbelanjaan padat di Jepang. Bisa disetarakan dengan Pusat Perbelanjaan Osu Kannon di Nagoya dan Akihabara di Tokyo.

Berjalan sedikit kami pun menemukan pintu masuk lain ke stasiun bawah tanah Namba. Sambil memperhatikan trotoar jalan, tangga menuju bawah tanah, lorong bawah tanah, dan lain-lain, memang kesan disini lebih kotor dibanding kota lain di Jepang. Namun, setidaknya masih beberapa tingkat lebih bersih dari kebanyakan kota besar di Indonesia.

Liburan Musim Dingin: Kansai

Artikel ini adalah bagian dari seri perjalanan kami saat musim dingin ke daerah Kansai, menggunakan tiket 18 kippu di Jepang. Berikut adalah keseluruhan perjalan tersebut.

  1. Kyoto: Arashiyama di Musim Dingin
  2. Kobe: Harborland, Bianglala, dan Museum Kapal
  3. Kobe: Shin-Kobe Ropeway dan Nunobiki Herb Garden
  4. Osaka: Makan Malam ala Xinjiang di Muqam dan Tabehoudai Bagus Resto
  5. Pusat Perbelanjaan Namba ~ Ternyata Jepang Bisa Kotor Juga
  6. Osaka Aquarium Kaiyukan dan Lagi-lagi Bianglala-la
  7. Tiga Penginapan Berbeda saat Liburan Musim Dingin: Kansai
  8. Enam Jam Berjalan Kaki Keliling Nara
  9. Kyoto: Fushimi Inari Taisha di Tahun Baru
  10. Kyoto: Kiyomizu Temple, Kuil Tanpa Paku Pun Sebatang

Tinggalkan Balasan

4 comments