• Menu
  • Menu
Yohei-san (pirang) dan Masanobu-san (hitam)

Perjalanan ke Jepang yang Melelahkan

Perjalanan saya menggunakan maskapai Korean Air, berangkat dari Cengkareng ke Centrair, dan transit sebentar (3,5 jam) di Incheon. Saya berangkat pukul 22.05. Berikut adalah sekilas cerita saat perjalanan yang cukup monumental bagi saya ini, karena inilah langkah awal impian saya terwujud (not that it has come true yet).

Delapan Oktober 2013. Itulah tanggal saya berangkat ke Jepang. Perjalanan saya menggunakan maskapai Korean Air, berangkat dari Cengkareng ke Centrair, dan transit sebentar (3,5 jam) di Incheon. Saya berangkat pukul 22.05. Berikut adalah sekilas cerita saat perjalanan yang cukup monumental bagi saya ini, karena inilah langkah awal impian saya terwujud (not that it has come true already).

Perjalanan tersebut cukup melelahkan, secara harfiah. Saya harus berangkat dari Tanjungbalai ke MES/KNO perjalanan 4 jam. Dari MES ke JKT terbang 2 jam. JKT ke CGK menikmati macet. CGK ke NGO penerbangan 14 jam plus selisih waktu dengan transit di ICN selama 3 jam lamanya. Belum lagi harus naik kereta dari NGO ke Toyohashi selama 2 jam, dan kemudian ke kampus. Fuih… Cerita lengkap, di bawah.

Dan Anda tahu bahwa saya punya hobi untuk menambah-nambahi sesuatu yang tidak penting, di luar konteks, atau bahkan ambigu berbahaya pada tulisan saya. Bisa kalimat, komentar, becandaan setengah serius. Beberapa paragraf awal setelah ini juga sifatnya seperti itu. Tidak sesuai judul. Silakan dilewati dan langsung mulai dari Jakarta atau Korea jika Anda hanya ingin tahu yang tertera di judul, cerita perjalanan saya ke jepang yang melelahkan.

Persiapan: Bandung

Saya minggat dari Bandung pada tanggal 26 September 2013. Cukup cepat, mengingat saya tidak memberitahu siapa-siapa mengenai rencana saya ke Jepang dan tentu saja (kapan) rencana saya pindah ke Bandung. Hanya tulisan At Last My Days are Numbered sajalah yang menyampaikan rencana saya tersebut secara terbuka dan kebetulan dilihat oleh beberapa teman – yang kemudian marah karena mau berpisah tidak laporan-laporan. Well, saya sebenarnya sudah menyisipkan komentar pada tulisan saya sebelumnya (seksi Introvert Cenderung Tertutup?).

Bahwa jika saya mendapatkan kesempatan kabur keluar negeri seperti ini saya juga tidak akan memberitahu siapa-siapa sampai hari keberangkatan. Itu perasaan saya dulu setelah mengevaluasi alasan seseorang bersikap tersebut dan reaksi orang-orang di sekelilingnya (termasuk saya) yang menyesali sikap itu. Sekalimat komentar pada artikel tersebut adalah penyesalan atas reaksi menyesalnya saya (kami).

Bahwa mungkin, saya pun akan melakukan demikian with high probability. Namun ternyata, setelah saya alami sendiri sekarang, ternyata perasaan tidak sesederhana evaluasi saya. Banyak faktor yg bertolak belakang yg mendorong saya untuk mengucapkan kata perpisahan. Mungkin saya akan mengelaborasi sedikit ttg hal ini lain kali. Sekalian membersihkan rasa penasaran seseorang yang tidak sengaja membaca strange English writing on my black book. Sementara ini, lupakan paragraf ini dahulu.  Soalnya, abstraksi dan pointer pada paragraf ini terlalu tinggi.

Alhamdulillah, saat saya pulang saya diantar (dan ditraktir) oleh dua sahabat saya: Rizky Alfian dan Bambang Tressando. Udah kayak tukang ojek lah mereka…

Bye-bye kamar kosanku...
Bye-bye kamar kosanku…

Kembali ke bahasan yang sederhana. Saya minggat dari Bandung pada tanggal 26 September 2013.  Saya harus minggat dengan cepat karena dua alasan: kosan yg cuma sampai pertengahan Oktober dan aplikasi visa. Sebenarnya kosan masih ada sisa dua minggu (setelah saya perpanjang 2 bulan dari jatuh tempo pada tengah Agustus). Sebelumnya, saya ingin daftar visa di kedutaan besar Jepang di Jakarta. Eh, ternyata berdasarkan alamat pada paspor, saya jatuh pada yurisdiksi Medan. Jadi saya tidak bisa mendaftar di Jakarta, dan harus di Konjen Jepang di Medan. Begitulah akhirnya saya pulang.

Patut dicatat bahwa rumah saya bukan di Medan tetapi di Tanjungbalai, 4 jam dari Medan. Oleh karena itu, saat pesawat turun ke Kualanamu hari Kamis itu, lebih baik saya langsung menyambangi Konjen Jepang dan mendaftar visa. Daripada pulang terus balik lagi ke Medan…

Nah, visa membutuhkan dua hal penting yg harus saya tunggu dari Jepang: Certificate of Elligibility dari Jepang dan Tiket Keberangkatan. Saya sudah mengeset pengiriman si CoE ke rumah saya di Tanjungbalai. Namun, pada hari Selasa pagi itu surat belum juga sampai di rumah. Padahal, hari Minggu surat sudah sampai di Kualanamu. Loh? Saya pun panik. Jika surat tidak sampai hari Selasa itu, surat tidak akan bisa dibawa oleh ayah saya yg berangkat ke Medan untuk sebuah acara hari Rabu pagi. Dan saya tidak akan bisa mendaftar pada hari Kamis. Saya pun terpakasa menelepon kantor DHL dan ditanggapi dengan cepat, servisnya bagus ternyata. Tapi kekhawatiran saya belum hilang. Well, belum lagi tiket pesawat juga blm ada kabar, hm.

Dan, hari Rabu, sehari sebelum saya pulang, saya dapat email ttg itu tiket keberangkatan: 8 Oktober 2013 lah saya akan berangkat. Hari itu juga, surat sudah sampai dan sempat dibawa oleh ayah saya. Giri-giri seefu.

Persiapan: Tanjungbalai/Medan

Monumen Lumba-lumba di Tanjungbalai
Monumen Lumba-lumba di Tanjungbalai

Beberapa hal yang saya harus siapkan saat di rumah adalah Visa (mengambil) dan uang yen. Karena Tanjungbalai kota kecil, yen disini mahal. Ada tapi mahal, 1 yen = Rp250. Saya pun menukar di Medan, sekalian ambil visa. Sebenarnya kurs waktu itu juga sedang mahal, di web (BRI, BNI, Mandiri) sudah pada di atas 120 semua. Tempat yang saya tanya pertama mintanya Rp200, dan kemudian yg kedua Rp185. Lumayan, saya pilih dia.

Saya di rumah sekitar 10 harian. Kondisi saya waktu di rumah agak aneh. Waktu saya pulang dari Bandung ke Medan, begitu pesawat lepas landas, saya tidur. Tidak seperti biasanya. Sampai di Kualanamu, waktu mau naik travel ke Medan pun saya sudah pusing seperti masuk angin. Hm… Tidak rela meninggalkan seseorang Bandung kah, saya… Dan dalam perjalanan pulang dari Medan ke Tanjungbalai malamnya, as expected, saya tepar (baca: mabuk dan muntah [padahal haram]). Padahal saya sudah 5xan pulang ke TJB dari BDO tanpa mengalami hal ini.

Setelah sampai di Tanjungbalai, besoknya saya diurut (It’s normal for Indonesian people go to “massager” when they are sick). Agak mendingan lah… Namun, seiring mendekat ke hari keberangkatan, kondisi saya membalik (bukan membaik). Seperti sedang naik kendaraan gitu… Nggak pusing sih, tapi kayak pegal dan mual gitu.

Entahlah… Mabuk kendaraan sepertinya masalah psikologis. Alam bawah sadar banyak memikirkan dan mencemaskan sesuatu. Mungkin masalah imigrasi, kuota bagasi, topan, hidup disana dll.

Dahulu, saat saya SD dan masih sering melakukan perjalanan Metro, Lampung – Bengkulu atau Metro – Medan naik bus, saya juga sering tidak enak badan bahkan sebelum naik itu bus. Ketika mencium aroma apek udara bus (saat naik misal), saya sudah bisa muntah. Apalagi jalur Lampung-Bengkulu waktu itu adalah jalur gunung yg sangat panjang, blm ada jalur lurus seperti sekarang. Seiring waktu, saya menanggalkan kebiasaan tersebut. Mungkin karena makin biasa. Sekarang-sekarang sudah aman, walaupun seringnya saya ya tidur saja di kendaraan. Kalau saya blm terbiasa dengan lajurnya plus jalannya berlika-liku, kadang kumat juga…

Nah sekarang ini gak tau. Sudah lama tidak seperti ini saya. Lah ini, masih di rumah pun, masih berapa hari lagi pun, sudah ada gejalanya. Sehari sebelum berangkat, saya urut lagi. Entah kenapa bagian kanan tubuh saya tegang (jadi kyk pegel). Nggak bikin sembuh sih urutnya. <.<

Rumah saya adalah di Tanjungbalai, 4 jam dari medan. Menghitung dari titik awal ini ke universitas, saya harus menempuh rute berikut.

  • 4 jam mobil Tanjungbalai – Medan,
  • 1 jam nunggu pesawat,
  • 2,5 jam Kualanamu – Jakarta,
  • 1 jam nunggu pesawat di Cengkareng,
  • 7 jam perjalanan Jakarta – Incheon,
  • 3,5 jam transit,
  • 2 jam Incheon – Centrair,
  • 2 jam Centrair – Toyohashi.

Total 23 jam. Belum menghitung jeda antar prosedur di atas. Kalau naik kereta (dari TJB ke Medan, dan dari stasiun Medan ke KNIA), harus tambah 30 menit + 2 jam lagi (naik kereta harus 2 jam sebelum pesawat berangkat). Hm…

Karena perjalanan sangat panjang, Mengingat kondisi saya agak aneh, saya agak ragu untuk menjalani seluruh rangkaian perjalanan tersebut secara langsung. Oleh karena itu, saya ingin memecah perjalanan. Pesawat Korean Air berangkat dari Jakarta Selasa, 8 Oktober 22.05. Saya berangkat dari Tanjungbalai, Senin, 7 Oktober 07.00. Jadi bisa istirahat di Jakarta malamnya. (or so I thought)

Saya berangkat dari Tanjungbalai tidak menggunakan kereta. Soalnya, jurusan Medan-Tanjungbalai hanya ada 3 kali sehari: 08.00, 12.00, dan 15.00. Perjalanan 5 jam. Pesawat ke Jakarta berangkatnya jam 14. Kereta dari stasiun Medan ke KNIA harus 2 jam sebelumnya, jadi, hm. Belum lagi mau nuker duit dulu di Medan (pas ambil visa waktu itu kurang nukernya, saya diminta bawa 84.600 yen admission fee + 30.000 yen asrama + biaya hidup sebulan).

Akhirnya saya (dan Ayah saya, ikut sampai Jakarta) diantar oleh temannya. Namanya Om Edy. Tentu saja keluarga saya yg lain (Ibu dan adik) juga ikut. Memang kami sudah sering pinjam ini mobilnya Om Edy sih. Platnya ada tulisan Paspampresnya. Dan waktu mengantar kami, Om Edy pakai seragam lengkap. Jadi kayak petugas bandara kalau lagi berdiri di dalam bandara (sampai ditanyain bule). Sayang saya lupa foto…

Oh ya, ayah saya juga bisa masuk bandara ke lokasi klaim bagasinya KNIA loh dengan hanya modal topi bertulisan Paspampres punyanya Om Edy ini.

Berangkat: Jakarta

Pesawat saya berangkat pada hari Selasa, 8 Oktober 2013. Saya sudah sampai di Jakarta pada 7 Oktober sore jam 4.30. Rencana saya mau menginap di penginapan dekat bandara saja, biar tidak terkena macet toh cuma mau istirahat saja. Ternyata, mahal-mahal euy. Akhirnya, saya menginap di rumah penjemput saya, Om Edy, ipar dari adik ayah saya di rumah dinas Angkatan Udara di sekitar bandara halim. Karena penjemput kami lumayan banyak (mereka menjemput karena habis mengantar orang lain juga), kami harus memulangkan awak mobil tersebut. Memutar-mutar Jakarta lah kami, muaced. Dan, sampailah kami di halim jam 10 malam. Duh, harus istirahat-harus istirahat (malah ketemu si komo).

Karena berangkat Selasa malam jam 10, Selasa pagi saya hanya tidur-tiduran saya di rumah. Istrirahat eh istirahat. Bangun tidur sih gak papa. Agak siangan kok lagi-lagi pegel gak enak gitu. Entah masuk angin, atau situasi psikologis tadi lagi. Banyak pikiran. Mana harus memecah koper, karena tadi kelebihan beban. Jatah Korean Air hanya 23kg sedangkan koper yang saya bawa bobotnya 28,4kg. Hm…

Setelah berdiskusi dengan seorang yang pernah terbang ke US, saya pun meminta Ayah membeli tas kecil untuk dibawa ke kabin. Sebagian barang bisa dipindah kesono, semoga aja 6kg muat, toh jatah kabin katanya 12kg (1 tas + 1 tas lain [laptop, tas tangan]). Eh, malah dibeliin koper juga walaupun kecil sih, cuma saya sudah punya sebelumnya, tapi gak dibawa… Sambil was-was (takut gak boleh bawa koper ke kabin) saya pun mempack ulang bawaan saya. Shoganaina…

Menghindari si komo, kami berangkat pukul 5. Toh, mau mampir ke tempat pengantar lain, si adik ayah saya (mutual family-nya kami dan penjemput/pemberi kami tempat berteduh). Kondisi saya waktu itu sudah lumayan lemas. Seolah-olah istirahat yang sehari tadi gak mempan. Hm.

Setelah memanjangkan kaki, memadarkan kepala, dan memaksa makan di tempat adik ayah saya, jam 8 kurang kami berangkat ke bandara. Sudah agak mendingan.

Sampai di bandara dan mencari terminal tempat Korean Air bernaung (gak tertera di tiket soalnya), saya pun check in. Dengan sedikit otoritas ke TNI-AU-an, istri Om Edy mengantar saya sampai tempat check-in. Kalau saja waktu itu temannya sedang tugas jaga, mungkin kami bakal masuk semua.

Check-in sambil deg-degan, gak tau soalnya berapa kilo akhirnya koper utama saya yg mau masuk bagasi. Dan akhirnya berapa kawan-kawan??? Tepat 23.0 kg! Strictly speaking, agak goyang-goyang +- 0.2 kg sih, tapi gak dianggap overweight! Hore!! Satu beban hilang sudah.

Ruang Tunggu Cengkareng
Ruang Tunggu Cengkareng

Setelah itu saya keluar lagi. Menunggu denting jam sambil berbicara mata-ke-mata ke keluarga untuk terakhir kali sebelum saya bisa pulang lagi ke tanah air.

Jam 9 tepat, saya masuk lagi dan melewati imigrasi. Takutnya antri lama, tapi ternyata sudah sepi saat saya masuk. Dan kemudian sampai di ruang tunggu 9.20an. Sambil me-sms beberapa teman (yappari, saya tidak bisa menahan rasa sedih dan dorongan tuk memberi kata-kata terakhir), hamsa hamida menggema secara rutin di ruang tunggu.

Quick Fact: Oh ya, kalau Anda tidak menyadari saya ke Jakarta diantar oleh Om Edy dan dijemput oleh Om Edy, yg satu afiliasi ke Paspamres satu lagi ke TNI AU. Hm…

1 2

Tinggalkan Balasan

14 comments