Di Jepang banyak sekali taman kota dan isinya indah dan besar. Salah satunya taman angsa di Nagoya ini, ternganga melihatnya.
Shirotori Teien alias Taman Shirotori adalah salah satu taman di Kota Nagoya. Shirotori artinya adalah burung putih, alias angsa. Taman ini bisa diakses dari Stasiun Kereta Bawah Tanah, Jinggu-Nishi. Jalan kaki dari sana sekitar 15 menit. Harga tiket masuk adalah 300 yen untuk orang dewasa dan 100 yen untuk anak-anak dan senior. Cuma waktu itu saya masuknya gratis, kayaknya dibayarin sama pemberi beasiswa saya. Taman ini punya situs loh, cuma taman kota doang kan padahal. Sila cek di www.shirotori-garden.jp.
Gunung, Sungai, dan Lautan: Ide Dasar untuk Taman pun Nggak Asal-asalan
Taman Shirotori dibangun dengan konsep yang terinspirasi bentuk geografis Gunung Ontake dan Sungai Kiso yang mengalir disekitarnya. Detail lengkapnya agak panjang jadi saya lupa dan bingung, pemandu pun menceritakan dengan banyak infografis yg nggak saya foto. Jadi intinya, alur Sungai Kiso dan sungai-sungai lain, bentuk Gunung Ontake, dan lautan Jepang di selatan ditiru lekak-lekuknya tinggi rendahnya untuk menjadi dasar dari bentuk taman ini. Waw.
Di Indonesia, ada taman kota yang dipikirkan seperti ini nggak ya? Well, taman yang cukup besar dan cantik aja jarang ditemukan. Hehe… Biasanya, yg penting cuma area pelataran luas, patung binatang, dan air mancur di tengah. Sudah wah… Ayo Pak Ridran Kamil, kapan lagi bisa memaksa membuat rancangan taman kota yang bagus…
Ehm, kembali ke Angsa. Jadi, jalan setapak yang saya lalui ini adalah sungai, salah satunya Sungai Kiso.
Kemudian gundukan ini adalah Gunung Ontake. Gunung ini setingga 3067 meter. Jadi kemarin, saya sempat naik gunung ini juga, cepet nggak sampai 5 menit puncak terlewati. Kemudian turun lagi.
Di Sungai Kiso yang beneran, terdapat daerah bebatuan yang katanya cukup legendaris dan pemandangannya sangat menarik. Nama tempatnya adalah [saya lupa]. Katanya pada legenda Urashima Tarou, disinilah si Urashima Tarou duduk-duduk di batu besar setelah petualangannya bertemu putri cantik. Kemudian dia tertidur. Saat terbangun, dia sudah menjadi om-om. Daerah legendaris ini pun dibuat replikanya di Taman Shirotori ini. Cukup mirip dengan aslinya (saya lihat fotonya) dan cantik juga.
Di Taman Shirotori ini juga banyak sungai-sungai yang mengalir. Nggak tahu posisinya atau bentuknya merepresentasikan apa… Pastinya ada sih kayaknya. Sungai kecil ini membuat suasana taman jadi tenang dan damai. Kita juga bisa main air, ada beberapa jalur batuan yang menyebrangi sungai ini.






Bahkan di beberapa lokasi ada air terjunnya.
Di ujung sungai tersebut, sebuah pond (telaga ya Indonesianya? masa kolam?) yang cukup besar menghampar. Telaga ini represenasi laut sebelah selatan, tempat Sungai Kiso bermuara. Telaga ini mengelilingi rumah teh dan beberapa pulau-pulau kecil yang ditumbuhi pohon momiji. Beberapa pohon sakura pun teronggok tanpa busana saat itu, menanti-nanti kehadiran musim semi tanpa malu.
Katanya ada juga pohon sakura yang dihadiahi oleh Amerika. Kami berdua pun berpandang-pandangan, di Amerika ada sakura ya?
Di dalam telaga, banyak ikan koi besar-besar berenang-renang. Katanya, ada sekitar 1000 ekor ikan koi disini. Patut dicatat, ikan koi ini, khususnya yg warnanya cakep, muaahal loh. Ratusan ribu atau jutaan yen, per ekor kalau di perlelangan. Dan disini ada buanyakk…






Ikan koi tidak punya rasa kenyang. Soalnya dia ingatannya kecil, jadi lupa kalau barusan makan. Lapar terus dia. Jadi, koi bisa kita kelabui dengan cara membuat gerakan memberi makanan. Atau cara Jepangnya adalah dengan menepuk-nepuk tangan. Tunggu sebentar, gerombolan koi akan datang menyerbu tempat Anda berdiri.
Di atas telaga, beberapa bebek berenang-renang. Tapi tidak ada angsa seekorpun, padahal taman angsa yak. Hm.
Suikinkutsu: Instrumen Musik dengan Gema Tetesan Air
Ada suatu instrumen yang unik pada taman ini. Namanya Suikinkutsu (水琴窟). Arti harfiahnya adalah Gua Harpa Air.
Instrumen ini adalah sebuah sistem akustik berbasis tetesan air. Air yang menetes ke genangan air akan menimbulkan suara. Karena lokasi tetesan ini dilingkupi oleh rongga kecil, suaranya pun bergema dan bisa terdengar lebih keras. Meskipun begitu, tentu saja tidak terdengar begitu saja dari luar. Untuk mendengarnya, kita harus menggunakan tabung bambu dan menempelkan kuping ke salah satu lubang. Bunyinya seperti koto alias Japanese harp, seperti petikan senar harpa oleh sinden di ruang istana.
Tiap lubang punya melodi yang berbeda. Di Taman Shirotori ini ada tiga lubang. Di Nagoya Castle katanya ada juga instrumen kayak gini, tapi cuma ada satu lubang.
Keren ya? Kepikiran buat benda kayak gini.
Jembatan Nobunaga, Ieayu, Hideyoshi, dan Deai
Di taman ini juga ada beberapa Jembatan (kan ada sungainya, ada jembatan juga dong). Salah tiganya merepresentasikan tiga pahlawan legendaris Jepang: Oda Nobunaga, Tokugawa Ieasu, dan Toyotomi Hideyoshi. Nah, panjang jembatan ini disesuaikan dengan perangai pahlawan itu masing-masing. Misalnya, Nobunaga-san katanya mata duitan, hobinya emas. Jadi jembatannya gagah, paling panjang dan bagus di antara tiga jembatan. Ieasu orangnya sederhana. Low-profile gitu. Jadi jembatannya jimi, paling pendeng dan cupu gitu
Namun, jembatan terpanjang di Taman Shirotori tidak berbasis legenda. Namanya Jembatan Perjumpaan – Deai Hashi. Bentuknya kayak di film-film roman gitu. Panjang, melengkung, dan dua tokoh utama drama bertemu di atas jembatan setelah sekian lama terpisah.
Atau bisa juga, kedua tokoh berpapasan untuk pertama kalinya di atas jembatan itu. Angin kencang menghebuskan jilbab rambut sang putri dan jenggot gamis jubah sang pangeran. Dituntun oleh angin yg menghentikan langkah, tidak sengaja mata mereka berdua bertemu pandang. Saya juga berjumpa dengan cinta saya di atas jembatan itu.
Pertemuan II Beasiswa Aichi
Sabtu 14 Desember di hari yg dingin. Pukul 7.30 pagi kami berangkat dari kampus, naik bus ke stasiun Toyohashi, kemudian naik kereta JR ke Nagoya. Biasanya sih naik Meitetsu, tapi sudah beberapa kali Meitetsu terus pengen ganti suasana. Toh harga bolak-balik Toyohashi-Nagoya sama, 1500 yen (akhir pekan). Eh, tapi malah salah pencet, tidak beli tiket bolak-balik, cuma tiket searah. Jadinya lebih mahal deh.
Kami turun di Stasiun Kanayama karena lebih dekat ke Stasiun Bawah Tanah Jinggu-Nishi. Pindah kereta dan ngesot dua stasiun. Pukul 9.30 sampai di tempat dan sudah ditunggu oleh orang Aichi, padahal jam janjian adalah pukul 10.00. Dua jam perjalanan tidak terasa lelah. Selain karena dingin (jadi gak keringetan), perjalanan sangat benri ~ praktis. Padahal, jarak Toyohashi – Nagoya mirip (2 per 3-nya lah) Bandung-Jakarta. Kalau di Indonesia, mungkin kami baru sampai jam 1 siang itu.
Setelah menunggu teman-teman yang lain, jam 10 kami beranjak dari stasiun kereta bawah tanah. Jalan kaki ke Taman Shirotori tadi. Sebenarnya, saya belum tahu kalau mau ke taman itu saat ini. Jalan cukup jauh, untuk ukuran orang Indonesia. Mungkin 15 menit lah. Kami juga jalan santai. Hal yang saya lihat saat jalan kaki ini: jalan yg sepi, sungai yg bersih, jembatan yg bentuknya lumayan walaupun cuma jembatan pejalan kaki biasa doang, dan kakek-kakek yg kentut saat kami lewat.
Sesampai di taman, kami langsung masuk ke rumah teh yang ada di pinggir telaga. Kami lihat di taman banyak cewek sekolahan duduk-duduk. Nggak sekolah apa ya? Sabtu kan nggak libur disini… Ternyata saat kami masuk ke rumah teh, sebagian dari mereka pun yang mengantarkan kami ke ruang pertemuan.
Rumah teh yg kami masuki itu sangat rapi dan dikelilingi oleh pemandangan indah. Telaga. Tenang damai. Kayak orang penting aja lah kami bisa leha-leha di rumah teh ini.
Suasana di Dalam Rumah Teh
Pertemuannya biasa saja. Hanya mengumpulkan laporan 2 bulan belakang ini. Kemudian, ngomongin internship, siap-siap pilih 3 perusahaan yg diminati. Ramah tamah biasa. Dan tanda-tanda tangan (atau tanda tangan-tanda tangan?).
Setelah acara pertama selesai, kami diantar lagi ke ruang minum teh beneran, yg lesehan, ada tataminya, dan ada karpet merahnya. Beberapa orang berjas dan berkimono sudah menunggu. Kami pun duduk ala tahiyat awal di atas karpet merah, saya lupa istilah jepangnya itu posisi duduk apa. Untuk yg nggak kuat, boleh duduk bersila. Saya pengen ngetes kemampuan, jadi duduk gitu terus.
Acara Upacara Teh ~ Ochakai dimulai. Rupanya, cewek-cewek SMA tadi yang jadi panitia upacara. Ada yg bikin teh. Ada yang bawain teh satu-satu ke depan peserta (kami dan beberapa obaa-chan). Duduk di depan kami. Menaruh mangkok teh perlahan. Menunduk rendah dan bilang sesuatu yg saya lupa apa. Kemudian perlahan pamit ke belakang. Mereka juga membawakan kue yg disajikan dengan gerakan yg sama.
Oh ya, minum teh yg disajikan ini juga nggak boleh sembarangan. Ada tata caranya. Pertama, ambil mangkok teh dengan telapak tangan kanan. Angkat, sambut dengan tangan kiri dan angkat hingga wajah. Setelah itu, turunkan kedua tangan yg sedang memegang teh itu dan taruh mangkok teh di atas telapak tangan kiri. Putar mangkoknnya dengan tangan kanan searah jarum jam. Dua kali. Baru deh minum, dengan dua tangan menangkupkan mangkok ke mulut.
Repot! Gusdur pasti nggak suka deh kayak gini.
Acara selanjutnya adalah mengobrol, dengan cewek-cewek itu. Cihuy… Tapi ya bahasa Jepang, haha… Belum begitu mudeng saya, sedikit banyak mengandalkan teman kuliah yg kebetulan duduk di samping saya.
Apa yg diobrolin? Mereka SMA mana, kelas berapa, berapa kali setahun ikut acara gini, ini upacara teh detailnya gimana, belajarnya gimana, benda itu namanya apa, ini duduk tahiyat biasanya berapa lama, dll. Mereka dari Nanyo Senior High School, katanya.
Setelah upacara minum teh selesai dan berfoto bareng, saatnya makan siang. Sudah jam 12-an. Jadwal makan kali ini adalah makan makanan Jepang. Begitulah ceritanya sehingga kami makan mochi siang itu. Dan hanya mochi itu saja, plus teh kotak. Kontras dengan pertemuan sebelumnya yg makan siang di restoran mewah di lantai 12 yg pelayannya berdasi dan selalu siap sedia.
Kemudian, para siswi SMA tadi memberikan sebuah performans musik. Ada 3 lagu yg dibawakan.
Setelah itu fair trade, sebagian dari mereka (4 orang doang sih) ada yg ikut klub Fair Trade. Jadi mereka ingin mendukung perajin dari negara berkembang. Caranya, dengan membeli barang-barang mereka dengan harga yg lebih dari biasanya. Hm… Kami diberi coklat pada acara itu.
Kemudian, para anggota fair trade itu mengajak kami main game cepat-cepatan membentuk kata. Ada potongan hiragana banyak di lantai. Juri menyebut sebuah kata dan pemain membentuk kata dari hiragana tadi. Kami yg 10 orang dibagi dua tim: siapa cepat dapat dua poin, lambat satu poin. Tim saya kalah…
Selanjutnya, kami diajak keluar untuk jalan-jalan keliling taman. Di luar sudah ada tour guide menunggu. Kami dibagi lagi menjadi beberapa grup supaya pemandu wisata gampang memandu. Kami pun berjalan santai sambil menikmati indahnya dan tenangnya taman angsa itu.
Tinggalkan Balasan